Posttraumatic Stress Disorder Pada Korban Tindakan Terorisme*

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan yang memunculkan respon ekstrim pada stressor yang kuat, mencakup meningkatnya kecemasan, menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma dan meningkatnya ketegangan dalam diri seseorang (Kring, Johnson, Davison & Neale, 2011). Lebih lanjut dijelaskan oleh Kring, Johnson, Davison dan Neale (2011) diagnosa PTSD ini hanya diberikan kepada orang-orang yang mengalami atau menyaksikan kejadian yang berhubungan erat dengan kematian, luka-luka serius, atau kekerasaan seksual.

Terorisme menurut Poul Johnson (2008 dalam Hendropriyono, 2009) adalah pembunuhan dengan sengaja yang direncanakan secara sistematik, sehingga mengakibatkan cacat dan merenggut atau mengancam jiwa orang yang tidak bersalah, sehingga menimbulkan ketakutan umum, semata-mata demi mencapai tujuan politik. Penjelasan mengenai pengertian terorisme memberikan gambaran bahwa orang-orang yang menjadi korban dari sebuah tindakan terorisme dapat mengalami PTSD.

Dalam tulisan ini, PTSD pada korban tindakan terorisme menjadi sebuah eksplanandum yang perlu dijelaskan bagaimana PTSD pada korban tindakan terorisme (hal ini dapat dikatakan sebagai eksplanan dari PTSD pada korban tindakan terorisme). Pendekatan yang akan dipakai untuk menjelaskan hubungan eksplanan dan eksplanandum dalam tulisan ini adalah Inductive-Statistical Model (IS Model). Penjelasan dalam IS Model merupakan penjelasan dengan menggunakan kemungkinan yang dipercaya relevan untuk menjelaskan fenomena eksplanandum (Rosenberg, 2005).

Serangan pada tanggal 11 September 2001 yang terjadi di Amerika membuat kajian mengenai terorisme menjadi semakin terkenal dan berkembang pesat hingga saat ini. Jumlah riset mengenai bagaimana terorisme berpengaruh kepada masyarakat meningkat sejak serangan teroris tersebut (Hamblen & Slone, 2007). Serangan teroris menyebarkan ketakutan pada masyarakat karena aksi terorisme dipahami sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan terhadap sasaran yang tidak terbatas sehingga siapa saja, bahkan yang tidak mengetahui hal yang dipermasalahkan oleh pelaku juga dapat menjadi korban (Hendropriyono, 2009).

Ketakutan yang menyebar di masyarakat tentu saja tidak separah ketakutan yang dialami oleh orang-orang yang pernah menjadi korban tindakan terorisme ataupun yang pernah menyaksikan sebuah tindakan terorisme. Orang-orang yang diprediksi oleh Hamblen & Slone (2007) rentan mengalami PTSD adalah orang-orang yang berada dekat dengan tempat serangan teroris, korban luka, atau kenal seseorang yang menjadi korban luka dan meninggal bahkan orang-orang yang secara terus-terusan melihat pemberitaan media mengenai serangan terorisme.

Ada batasan-batasan yang harus diberikan dalam mendiagnosa PTSD karena tidak semua korban terorisme kemudian menjadi terkena PTSD. DSM-IV-TR menetapkan criteria diagnostic bagi penderita PTSD, yaitu:

  1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatic dimana kedua dari berikut ini terdapat :
    1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
    2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
    3. Kejadian traumatic secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
      1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
      2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
      3. Berkelakuan atau merasaseakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
      4. Penderitaan psikologis yang kua saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
      5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
      6. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
        1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma.
        2. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
        3. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
        4. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
        5. Rentang afek yang terbatas
        6. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
        7. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
        8. Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
        9. Iritabilitas atau ledakan kemarahan
        10. Sulit berkonsentrasi
        11. Kewaspadaan berlebihan
        12. Respon kejut yang berlebihan
          1. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
          2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.

Sebutkan jika :

Akut: jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan

Kronis: jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih

Sebutkan jika:

Dengan onset lambat: onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor

Kriteria diagnosa yang dijelaskan di atas harus ada pada diri seorang penderita PTSD dan tentu saja, PTSD pada korban terorisme terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan tindakan atau serangan terorisme.

PTSD yang terjadi pada korban terorisme menurut penelitian yang dilakukan oleh Shalev dan Freedman (2005) menunjukkan tingkat PTSD yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat saja dikatakan karena terorisme merupakan stressor yang disebabkan oleh manusia serta merupakan sebuah kekacauan dibuat untuk kepentingan tertentu. PTSD yang dipicu oleh stressor yang dibuat oleh manusia dapat menjadi lebih parah dan bertahan lama dibanding PTSD yang dipicu oleh stressor alami seperti bencana alam (Shalev & Freedman, 2005;  Hamblen & Slone, 2007).

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah PTSD dapat terjadi pada korban tindakan terorisme karena tindakan terorisme mencakup tindak kekerasan ekstrim yang dapat menjadi stressor PTSD pada seseorang. Lebih lanjut juga dijelaskan criteria untuk mendiagnosa seseorang menderita PTSD. Hal-hal yang dijelaskan di atas dapat memberikan good grounds bagi hubungan eksplanan-eksplanandum yang menjadi topic dalam tulisan ini.

REFERENSI

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4th ed.,text rev.). Washington, DC: Author.

Hendropriyono, A.M. (2009). Terorisme Fundamentalis, Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Kompas.

Humblen, J., & Slone, B. (2007). What Are the Traumatic Stress Effects of Terrorism. Ritrieved from http://www.ncptsd.va.gov

Kring, A., Johnson, S., Davison, G., &Neale, J. (2011). Abnormal Psychology. Singapore: John Wiley & Sons Singapore Pte. Ltd.

Rosenberg, Alex. (2005). Philosophy of Science, A Contemporary Introduction (2nd Edition). New York, NY: Routledge.

Shalev, A., & Freedman, S. (2005). PTSD Following Terrorist Attacks: A Prospective Evaluation. Am J Psychiatry, 162, 1188-1191. Retrieved from http://ajp.psychiatryonline.org

*merupakan tugas untuk mata kuliah Filsafat Ilmu

1 Comment

  1. Sungguh beruntung kami bisa berkunjung di blog Anda hari ini. Sangat
    menarik apa yang Anda tulis di artikel ini. Sebuah artikel yang
    bermutu dan sangat berguna bagi pembaca. Salam kenal dari kami 🙂

    Like

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.