Emaaakkkkk

Baru aja kemarin saya baca artikel  tentang pegawai wanita yang diberhentikan karena dianggap terlalu menarik dan mengganggu kinerja para pegawai pria. Kemudian ada lagi CEO salah satu perusahaan besar yang kebetulan wanita menjadi feature pada salah satu tabloid dianggap merendahkan jabatannya karena dia berpose cantik layaknya wanita. Layaknya. Wanita. Something sounds wrong there. And then this video showed up in The Upworthy. Gender kayaknya jadi tema saya hari ini. Ditambah lagi iMess dari salah satu mahasiswa saya yang akan menyusun skripsi yang minta pendapat tentang judulnya yang gender based. Baiklah.

Semasa kuliah dulu, saya pernah mengambil mata kuliah psikologi gender, yang diampu oleh Alm. Pak Firin. Saya senang dengan pendekatan yang beliau pakai, kami diberi project untuk mempresentasikan hasil penelitian kecil-kecilan mengenai bias gender di masyarakat dan kelompok saya waktu itu mengambil teman mengenai color and gender (kalau tidak salah, maklum, ingatan saya sepanjang toge). Gender menurut saya merupakan suatu konteks yang lebih fokus pada bentukan sosial terhadap suatu jenis kelamin, bukan pada jenis kelamin itu sendiri. Konsep feminim dan maskulin adalah hal yang mendasar pada kajian psikologi gender.

Konteks sosial dari feminim dan maskulin ini terlihat jelas dalam pola asuh orang tua ke anak. Secara tidak sadar, kita sudah sangat familiar dengan konsep “ayah mencari uang, Ibu mendidik anak dirumah”. Kemudian saya jadi ingat masa kecil saya, dimana Ibu dan ayah keduanya mencari uang. Siapa yang mendidik anak? Bukan, saya bukan anak didikan ART, saya tetap anak didikan ayah dan ibu yang masing-masing sepertinya sudah sepakat memainkan peran masing-masing.

Ibu saya, seorang guru SMA, jam kerjanya cukup bisa disesuaikan dengan jam sekolah anak-anaknya, ya.. walaupun ketika saya pulang Ibu saya masih mengajar, saya jadi punya kesempatan untuk berlekas ganti baju dan main keluar rumah sampai mendekati jam Ibu saya pulang. Biasanya sekitar 5 menit menjelang beliau biasanya sampai dirumah, saya masuk kamar mandi, jadi saya tidak perlu mendengar omelan “mandi sore”. 😀 Tetapi yang paling nikmat adalah ketika saya libur, maka Ibu saya juga libur dan kami bisa berlibur kemanapun Ayah saya mendapat tugas dari kantornya. hehehee

Kemudian, ada ayah saya yang seorang ASN (ciye, bahasanya kekinian banget ya?) yang cukup berdedikasi tinggi karena walaupun kantornya didepan rumah, dia tidak curi-curi waktu pulang buat tidur siang, jadi saya hanya bertemu beliau ketika saya berangkat ke sekolah (beliau belum mandi) dan ketika beliau pulang kantor (saya mulai ngantuk).

Seperti umumnya pembagian tugas orang tua di Indonesia, Ibu saya mempunyai tugas menyuruh-nyuruh saya, mengambil raport saya, membelikan saya baju, dan mengiringi perkembangan saya dengan intens. Sementara ayah saya mempunyai tugas menyuplai dana untuk menghidupi saya, mendengarkan carita saya di setiap makan malam, menepuk-nepuk saya sampai tidur dan mendiamkan saya ketika saya nakal (benar-benar mendiamkan sampai saya merasa tidak nyaman). Ibu dipersepsikan sebagai sosok yang cerewet namun sangat menyayangi kita apa adanya sementara ayah dipersepsikan sebagai sosok pelindung keluarga yang hanya punya sedikit waktu luang untuk bermain dengan anak-anaknya.

Satu hal yang saya ingat ketika saya masih SD, saya tidak datang ke MDA (atau TPA kalau di pulau jawa) selama beberapa hari sampai kepala sekolahnya mendatangi rumah saya dan bertemu papa (panggilan saya ke ayah). Ketika ditanya alasan saya tidak hadir, papa menjawab dengan santainya “iya, mamanya sedang kunjungan keluar kota, jadi nggak ada yang ngomelin dia kalo siang” dan alasan itu diterima dengan lancar oleh sang kepala sekolah. Alasannya sangat bias gender bukan? Dan ketika mama (panggilan untuk ibu saya) pulang dan saya ceritakan itu pada sesi makan malam kami, mama cuma ketawa terbahak-bahak. Yang jelas sih, dengan alasan itu, saya tidak dipanggil keruang kepala sekolah untuk dinasehati berjam-jam oleh Pak Kepala Sekolah seperti teman saya yang menurut Ayahnya tidak datang karena malas. 😀 (Makasih ya pa, atas alasannya yang silly tapi manjur, thanks for the protection)

Jadi, dalam pengalaman saya, Mama berperan sebagai orang yang penuh kasih dan papa berperan sebagai pelindung yang tidak selalu terlihat dapat mengekspresikan kasih sayangnya secara eksplisit.

….dan semua itu berubah ketika mama meninggalkan kami. Papa langsung kewalahan untuk mengambil peran 2 orang sekaligus, tetapi menurut saya beliau tetap sukses menjadi orang tua yang baik, walaupun selalu harus bertukar-tukar peran.. I love you Pa, kami rindu dirimu, emaaakkkkk…

Fainting Game

udah lama pengen post tentang ini tapi gagal terus,,

hmm,,

beberapa minggu yang lalu saya baca artikel tentang meninggalnya anak di Amerika akibat bermain “fainting game” (belum berhasil menemukan istilah Indonesia.. kalo diartikan secara harfiah sih maksudnya permainan pingsan-pingsanan).

Fainting Game atau biasa juga disebut Choking Game atau pass-out game, space monkey, scarf game, space cowboy, California choke, the dream game, cloud nine, juga purple hazing adalah permainan yang cukup terkenal di kalangan anak-anak di Amerika, dimana tujuan permainan itu adalah merasakan sensasi “dying” atau sensasi orang ketika sekarat terlebih lagi hal itu dimaksudkan untuk “getting high” tanpa meminum obat-obatan. Permainan ini bermaksud memotong aliran oksigen ke otak sehingga merasakan euforia seperti yang di dapat ketika meminum obat-obatan. PARAH! karena dalam permainan itu biasanya mereka juga memakai alat bantu untuk memutuskan sejenak aliran oksigen ke otak mereka dan membuat “melayang”. Alat bantu itu antara lain ikat pinggang yang di ikat ke leher, jepitan untuk menutup hidung, dan banyak lagi yang lainnya yang dapat membuat oksigen berhenti mengalir sejenak, dan ini sudah banyak MEMAKAN KORBAN lho!

Menurut Center for Disease Control (CDC), ada sekitar lebih dari 80 kasus kematian diakibatkan oleh permainan ini pada anak-anak yang berusia 5 – 19 tahun periode 1995-2007 dan lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, namun permainan ini sama bahayanya bagi anak perempuan dan laki-laki. Beberapa tanda yang bisa dilihat dari anak-anak yang sudah terjangkit permainan ini antara lain:

  • luka atau bekas luka di leher
  • mata merah
  • memakai pakaian yang menutupi leher walaupun cuaca panas (bukan jilbab loh maksudnya)
  • kebingungan atau disorientasi setelah ditinggal sendirian untuk beberapa saat
  • menyimpan barang-barang tidak wajar seperti tali tambang, ikat pinggang, syal, atau tali-tali untuk mountaineering
  • sering mengeluh sakit kepala bahkan dalam tingkat sangat kesakitan
  • tingkah laku yang mencurigakan, merusak, dan suasana hati yang tidak terduga
  • pendarahan di bawah kulit muka dan mata.

Walaupun permainan ini sudah banyak memakan korban, penelitian yang dilakukan belum terlalu banyak mengenai permainan ini, namun secara umum dapat disimpulkan beberapa penyebab anak-anak menggemari permainan ini, antara lain:

  • dilakukan di kelas agar dapat membolos pelajaran
  • tekanan teman sebaya, tantangan, bahkan syarat untuk bergabung dengan kelompok tertentu
  • rasa penasaran mengenai sensasi mendekati kematian
  • ketagihan atas rasa “melayang” hadir
  • prospek untuk intoksikasi tanpa mengeluarkan biaya.

sewaktu pertama kali membaca postingan tentang ini, saya kaget karena sudah begitu putus asakah manusia sehingga ingin merasakan sensasi maut dan bercanda dengan kematian? atau ini malah tanda-tanda manusia sudah semakin kreatif?

sumber2: sini dan sini

untuk mencegah bertambahnya korban dari permainan ini, tentu perhatian intensif dari orang tua terhadap perkembangan anak-anaknya menjadi solusi utama dan komunikasi dua arah antara anak dan orang tua harus mampu diciptakan agar anak tidak menyimpan sendiri permasalahannya yang mengakibatkan ia mencoba mencari solusi dengan cara yang salah atau bahkan melarikan diri dari kehidupannya. Kontrol orang tua dalam kehidupan anak tentu sangat penting, tapi orang tua juga harus paham batas-batas privasi sang anak sehingga tidak malah menimbulkan sensasi terkekang pada anak yang malah berujung pada perilaku yang lebih anarkis,,

semoga post kali ini berguna,,

ada yang bisa share lebih lanjut?

😀

Pampers dan Perkembangan anak

images.jpeg

ini adalah blog yang mengeluarkan tulisan yang berasal dari hati,, dan anak-anak adalah bagian atau bahkan keseluruhan hati dari orangtuanya,,

perkembangan pada masa anak-anak sangat berarti untuk masa depan mereka, baik fisik maupun psikis mereka.

seperti yang sering dikatakan dalam iklan, masa anak-anak adalah masa emas kehidupan.

seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, makin banyak barang-barang yang diciptakan manusia untuk mempermudah kehidupannya,

juga bagi anak-anak, salah satunya pampers atau dalam bahasa indonesianya dikenal dengan istilah popok.

popok adalah alat yang dimaksudkan untuk memudahkan orangtua sehingga tidak terlalu sibuk untuk membersihkan ampas makanan anak-anak mereka yang belum mengerti untuk membuang sampah pada tempatnya. tapi kembali, seiring majunya zaman maka berubah jugalah nilai-nilai yang dianut oleh manusia modern ini. dahulu kala, anak adalah permata bagi orang tuanya, apapun hampir akan selalu dilakukan orangtua demi kebaikan anaknya, tapi apa yang kini terjadi? anak malah serig diabaikan oleh orang tua untuk mengejar materi yang dalam pembelaannya mereka melakukan hal itu demi kebaikan anak mereka juga, namun apakah itu memang baik? akn sangat panjang kajiannya.

dalam perkembangan anak, orang tua mempunyai peran penting yang membantu menentukan bagaimana kepribadian anaknya akan terbentuk dan membawa kehidupan mereka selanjutnya. pampers atau baby diapers ternyata mempunyai efek yang berbahaya dan jangka panjang dalam menghambat perkembangan anak. anak-anak yang telah terbiasa dari bayi hingga agak besar menggunakan pampers, akan mengalami beberapa perbedaan dari bayi-bayi lainnya, tentu saja jika pampers itu dipakai setiap saat, bukan pada saat-saat tdak berdekatan dengan toilet saja, atau dalam bepergian.

implikasi yang pertama bagi anak tentu saja yang paling mudah dilihat adalah dari aspek fisik. aspek fisik yang paling berpengaruh tentu saja bagian pinggul ke bawah, yang terkait langsung dengan penggunaan popok tersebut. banyak yang mengeluhkan cara berjalan anak mereka, yang setelah masa kecilnya dihiasi dengan penggunaan popok, ada kecendrungan bagi anak-anak tersebut berjalan dengan sedikit mengangkang atau kakinya menjadi tidak bisa merapat tapi ini mungkin bisa diatasi dengan membiasakan cara berjalan yang lebih baik sejak dini. namun saya pun belum pernah membaca mengenai cara mengatasi hal ini, mungkin ada yang bisa membantu..

yang kedua memasuki zona psikis anak tersebut. dalam menunjang perkembangan ada yang dinamakan toilet training, nah apakah toilet training itu? toilet training itu bagaimana melatih anak agar dapat menggontrol refleks otot sphincternya agar bisa bekerja denganbaik sehingga ia tidak mengalami lagi enupresis dan enkopresis. waduh,, apa pula enupresis dan enkopresis itu? hm,, yang mudahnya, dalam bahasa awamnya, enupresis itu ngompol dan enkopresis itu buang air besar sembarangan, baik disengaja atau pun diluar kendali anak tersebut.

apa hubungan popok dengan toilet training?

sangat erat.. toilet training merupakan bagian penting dari alur perkembangan anak, sedangkan popok dapat menjadi bagian dari hambatan perkembangan anak. sebuah negasi yang menarik menurutku.

anak-anak yang telah terbiasa memakai popok dari kecil di setiap saatnya akan mengalami kesukaran yang levelnya setingkat diatas anak-anak lain yang tidak terbiasa memakainya ketika dihadapkan pada tuntutan lingkungan yang mengharuskan mereka sudah bisa mengeluarkan sisasisa sari makanan dan minuman mereka ditempat yang sepantasnya. keterlambatan mereka untuk beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang kadang mengekang ini dinamakan sebuah hambatan, yang dampaknya tentu saja bisa panjang hingga mereka dewasa.

ada beberapa kerugian lain yang akan dialami anakanak yang orangtuanya sangat terpengaruh dengan iklan popok yang anti bocor ini. yang pertama adalah masalah iritasi pada kulit anak tersebut dan juga sebuah sikap ketergantungan yang terbentuk lebih awal dan menyesatkan. anak-anak yang telah terbiasa dengan memakai ini dakan mengalami ketergantungan yang sangat mungkin untuk mengarah menjadi hal yang patologis dalam perkembanganmereka selanjutnya.