Mudik lebaran kemarin, yang menjadi highlight saya adalah babies! Rasanya pekanbaru sedang dipenuhi dengan bayi-bayi, baik yang baru lahir sampe yang udah satu tahunan. Dimulai dari ponakan lucu, cerewet dan tak bisa diam sampai anaknya sahabat saya yang pendiam tapi suka joged sendiri, ada lagi ponakan cowok yang mendadak jadi cengeng sekali ketemu orang ramai terus ada pula yang baru lahir, tetapi rambutnya sudah sangat gondrong… 😆
Interaksi dengan bayi-bayi itu susah-susah gampang, gampang karena mereka masih polos, bagai kertas putih yang terserah kita mau menulis apa disana. susah karena mereka belum bisa diajak komunikasi dengan baik, karena kemampuan mereka di bidang kognitif belum maksimal, perkembangan bahasa dan penalaran mereka masih di tahap yang awal sekali. Gampang-gampang susah, namun sangat menyenangkan dan membuat saya tidak niat balik ke Jakarta lagi… *modus* hehehe
Kembali ke perkembangan bahasa, saya akan menyoroti ponakan saya yang berumur 18 bulan, alias 1,6 tahun. Makhluk lucu dan menggemaskan ini biasa di panggil zhazha dan kini sudah memiliki kosa kata yang cukup banyak sehingga dapat dikategorikan bayi cerewat serta sangat aktif sehingga sebanyak apapun dia makan, tampaknya dia akan tetap selangsing itu karena dia sangat tidak bisa diam. Berinteraksi dengan zhazha sekarang cukup menyenangkan karena dia sudah mulai bisa diajak berkomunikasi verbal. Kosakata yang dia gunakan sudah mulai sesuai dengan konteksnya, walaupun masih banyak kosakata yang dia pakai tanpa dia ketahui maksudnya. Contohnya adalah ketika menjelang lebaran, mama zhazha ingin zhazha fitting baju agar bisa di adjust dengan badannya sekarang, ada satu baju yang berwarna pink, yang mamazhazha tunjuk dan bilang pink. Zhazha memperhatikan saja, namun setelah itu dia selalu menunjuk baju-bajunya sambil berkata mpink, padahal sebelumnya dia sudah bisa bilang baju, mungkin dalam pikirannya mping juga berarti baju.
Kemudian saya ingat seorang dosen saya, mata kuliah perkembangan anak, pernah mengatakan sebaiknya tidak berkata “jangan” kepada anak-anak, lebih baik ganti dengan kata yang lebih spesifik seperti mengganti “jangan duduk di sana” dengan “berdisi di sini saja” karena anak-anak lebih mudah memahami kata-kata dengan arti yang jelas dibandingkan dengan kata “jangan” yang konsepnya masih abstrak. Saya mencoba bereksperimen dengan zhazha, ketika dia sedang berdiri, saya bilang “jangan duduk”, dia malah berkata “dodok” dan langsung duduk di lantai, kemudian saya bilang “jangan berdiri” dia langsung menyambut dengan berdiri tegak. Saya coba mengganti kata dengan “nah gitu ya, berdiri ya” dia langsung menjawab dengan “ya” dan tetap berdiri. Dari kejadian itu saya paham dengan yang dijelaskan oleh dosen saya, kemudian saya mencoba mencari artikel mengenai hal tersebut, ternyata banyak yang mengatakan bahwa kata “jangan” itu tidak boleh diucapkan ke anak, karena sebaiknya kita tidak berbicara dengan kata negatif ke anak, karena anak akan menangkap efek negatifnya tetapi kemudian saya menemukan satu artiket yang tidak setuju dengan hal itu sampai memberikan statement bahwa di Al-Quran saja, kata jangan banyak digunakan dan kita harus mengajarkan anak bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilanggar, entah kenapa, saya kurang setuju di beberapa bagian dengan artiket tersebut.
Larangan menggunakan kata jangan menurut saya adalah baik, selama sang anak masih di bawah usia 24 bulan karena perkembangan bahasanya belum sempurna dan jangan tidak memiliki arti yang jelas, beda dengan “tidak” dimana anak sudah mengerti arti “tidak” adalah sesuatu yang melarang, atau sebaiknya tidak mereka lakukan, walaupun pada kenyataannya, kata “tidak”pun bagi mereka terkadang masih buram maknanya. berbicara dengan anak-anak lebih mudah jika kita menggunakan kata yang memiliki makna kongkrit (bisa diterjemahkan dengan bentuk kegiatan atau dalam bentuk nama barang). Jika kita ingin mengajarkan kepada anak bahwa ada hal-hal yang namanya baik-buruk, anjuran-larangan, lakukan ketika masa perkembangan kognitif anak tersebut sudah cukup untuk memahami, diatas 2 tahun, dan itu pun harus tetap dilakukan dengan situasi yang positif, bukan untuk menakut-nakuti mereka, tetapi untuk membuat mereka paham bahwa di dunia ini tidak semua harus berjalan sesuai keinginan mereka saja, ada aturan main dan ada yang namanya “reward-punishment”. Hal yang senantiasa harus diingat adalah, agama itu untuk membuat hidup kita lebih teratur dan nyaman, bukan untuk menakut-nakuti kita, jangan sampai kita menurunkan ke anak kita rasa takut yang tidak pada tempatnya, dan satu lagi, manusia itu individu unik yang memerlukan pendekatan yang berbeda, begitu juga anak, mereka masing-masing mempunyai range perkembangan yang berbeda-beda. Sekian.