Empati, Toleransi dan Ketidakpedulian

Empati, selama saya belajar ilmu psikologi selalu diartikan sebagai suatu kondisi dimana kita bisa merasakan perasaan orang lain dan bisa menempatkan diri kita pada posisi orang tersebut. Toleransi adalah bagaimana kita bisa saling menghormati hak dan kewajiban orang lain sehingga tidak saling membenturkan hak tiap-tiap individu sedangkan ketidakpedulian adalah bagaimana kita membiarkan saja seseorang melakukan sesuatu yang cenderung bisa merusak dirinya sendiri dan orang lain. Itu adalah sekelebat pemahaman saya mengenai makna 3 kata yang menjadi judul tulisan ini. Ini bukan tulisan ilmiah yang punya banyak referensi, ini hanya tulisan yang saya tulis berdasarkan keprihatinan saya saja, jika ada yang tidak sependapat dengan saya, yuk mari kita diskusi.. 🙂

*loh? tulisannya tentang apa juga belum keliatan yak? hehehe

Baiklah..

Menurut saya, perbedaan empati dan toleransi yang berkonotasi positif dengan ketidakpedulian yang berkonotasi negatif dari hari ke hari semakin tipis dan pemeliharan empati dan toleransi bisa mendorong pesatnya pertumbuhan ketidakpedulian. Bayangkan anda sebagai saya yang berasal dari kampung, kuno dan kolot menghadapi dunia pergaulan di Jakarta, yang tidak usah saya jelaskan pasti banyak yang paham deh betapa unik, kompleks dan menggiurkannya proses “gaul” di Ibu Kota ini.

Satu hal yang paling penting dimanapun kita berada adalah bagaimana kita bisa menghargai hak asasi manusia, itu bagian dari toleransi, katakan saja, apa yang dilakukan seseorang dalam hidup adalah murni hak asasi dia yang harus kita hargai, kita harus menghormatinya. Contoh ekstrim adalah saya sebagai seorang muslim mempunyai sahabat yang juga muslim, ada juga yang katolik, budha, hindu, dan protestan. Melakukan ibadah adalah hak asasi manusia, jadi saya harus menghargai apapun agama seseorang, saya harus mentoleransi ritual keagamaan mereka, itu saya sangat paham, namun ketika dia jelas-jelas menyatakan dia beragama, namun dia tidak menghormati agama dan kepercayaannya sendiri (baca: nggak shalat, nggak kebaktian, dll) kita sekarang juga dituntut untuk mentoleransi hal itu dengan alasan itu adalah proses pemaknaan dan hasil dari proses kognitif masing-masing orang. Toleransi, itulah kata yang memungkinkan kita untuk tidak melakukan sesuatu agar teman kita tersebut kembali melakukan ibadahnya, namun hal ini bagi saya adalah ketidakpedulian yang terselubung, karena dengan mentoleransi keingkaran mereka berarti kita juga sebenarnya membiarkan ia jatuh kedalam lubang kelalaian yang mungkin awalnya hanya lalai ibadah, tapi jika dibiarkan hatinya membeku, maka mungkin akan berakhir dengan lalai-lalai lainnya. Saya percaya bahwa jika seseorang memilih kepercayaan tertentu, terpaksa karena orang lain, keturunan ataupun karena keinginan diri sendiri mereka tanpa sadar menandatangani kontrak mental yang mempengaruhi alam bawah sadar (yes, so fruedian! :p) yang jika mereka tidak memupuk dengan ibadah, ada perasaan kosong dalam benak mereka (bukti ilmiah? kan udah saya bilang kalo ini hanya cerocos saya aja).

Itu tadi contoh ketidakpedulian berkedok toleransi, bagaimana dengan empati? ada satu hal yang sering mengganggu saya karena saya juga sering menjadi pelakunya. Misal : Ketika seseorang sedang menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan, dia mengalami stres dan bisa menjadi depresi. Ketika orang depresi, manifestasinya bisa macam-macam. Bagi yang di diagnosa mengalami gangguan depresi mungkin akan mudah dibantu, tapi bagi yang hanya depresi ringan, banyak yang kemudian hanya mencari pelarian, mungkin tidak ekstrim ke alkohol atau obat-obatan, tapi bisa saja makan yang banyak atau bertingkah sesukanya. Sebagai seseorang yang mempunyai empati, kita bisa merasakan apa yang dia rasakan, kita bisa membayangkan apa yang kita rasakan jika kita berada di posisinya, sehingga kita menjadi permisif “ah, nggak papa, kasian dia masih shock”, “ah biarlah sementara dia masih terguncang” dan ah-ah yang lainnya. Mungkin awalnya pembiaran kita ini dianggap wajar dan membantu dia, tapi sebenarnya dengan kita membiarkan, orang tersebut malah menanamkan dalam pikiran dia bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan bisa menjadikan kebiasaan dan pola pikir dia terhadap hal yang salah bisa berubah. *Loh? kan ntar kalo dia udah agak redaan bisa kita bantu kembali kejalan yang benar? bisa sih, tapi yakin nggak, ketika kita membantunya itu belum terlambat?

Dua contoh situasi diatas menurut saya bisa menggambarkan bagaimana itikad baik kita tak selamanya menghasilkan yang baik, bisa saja toleransi dan empati yang kita rasakan kepada seseorang sebenarnya adalah kemalasan kita untuk membantu, ketidakpedulian kita yang dipoles menjadi suatu perasaan yang dimafhumkan… in my opinion.. :’)

ciao!

-darkjasm-

Labelling

Menyambung post ini, saya juga ingin membagi opini saya mengenai hal lain yang bisa menimbulkan prasangka, bukan hanya diturunkan oleh orang tua kita saja.

Beberapa waktu yang lalu saya dapat curhatan dari seorang teman yang lagi ada masalah dengan beberapa orang temannya. Mungkin sebelum saya bercerita lebih jauh, saya beri ilustrasi nya dulu ya..

Panggil saja Bunga (ini bukan cerita kriminal lho ya), dia baru pindah kantor, jadi di kantornya itu seperti kantor yang lain, pegawai baru pasti ditraining dulu dan pake sistem angkatan atau batch atau teman seperguruan atau teman sepermainan atau entahlah apa namanya lagi yang lain. Pada awal masa training, Bunga dan teman-temannya cukup akur hingga menjelang akhir masa training mereka, mulai terjadi perpecahan. Setelah masa training mereka selesai dan masing-masing sudah ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka maka masa kebersamaan mereka pun berkurang sehingga perpecahan yang awalnya hanya bibit saja, kini mulai tumbuh dan bersemi *ini juga bukan pelajaran bercocok tanam lho* dan angkatan Bunga pun akhirnya pecah menjadi dua kubu. Suatu waktu, kantor mereka mengadakan gathering namun Bunga berhalangan hadir karena dia harus menjenguk anjingnya yang sakit. Setelah kembali dari perjalanan panjangnya *koq makin lama bahasa ilustrasi ini semakin aneh ya?* *biarin ah, yang penting pahamkaaan??* *ngomong ama cermin*, Bunga kaget karena seorang teman dekatnya *sebut saja kumbang* bercerita bahwa ada teman seangkatannya  *sebut saja Kembang* yang bertanya pada Kumbang , kira-kira begini percakapan mereka :

Kembang : “mana temen-temen lo yang lain?”

Kumbang : “ha? temen-temen gue? bukannya mereka juga temen-temen lo?”

Kembang : “eh, iya maksudnya, mana anak-anak yang lain?”

-/.-/-/.-

Long story short, percakapan itulah yang membuat Bunga sedih dan juga membuat saya berpikir miris, bagaimana persahabatan bisa retak dan pecah. Hal ini tidak hanya terjadi pada Bunga tapi saya yakin kita semua hampir pernah mengalami hal yang sama sampai ada kalimat “it’s really nice when a stranger become friend, but it hurts more when a friend become stranger.

Kembali pada perihal prasangka, bisa muncul kata-kata “temen lo” oleh Kembang adalah bukti bahwa sudah terjadi reklasifikasi, atau pengelompokan ulang yang awalnya mereka adalah satu kelompok kini, menjadi dua kelompok dan tidak dipungkiri bahwa perlakuan masing-masing anggota kelompok tersebut akan berbeda antara teman sekelompok dan teman yang berbeda kelompok dan mereka akan mulai membentuk sebuah “stereotipe” atas anggota kelompok lain.

Stereotipe inilah yang memunculkan prasangka antar kelompok dan muncullah yang disebut homogenitas outgroup dimana kita menganggap orang di luar kelompok kita itu mirip bahkan sama dalam segala hal atau yang sekarang sering dipakai adalah istilah “generalisasi.”

Dari ilustrasi diatas dan post sebelum ini, kita bisa paham bahwa prasangka tidak hanya diturunkan dari orang tua ke anak, tapi juga terbentuk karena pergaulan sosial dan kebutuhan individu akan konformitas kelompok. Identitas kelompok menjadi penentu penting dalam perjalanan hidup manusia dan biasanya mereka akan mengikuti norma kelompok di mana cara berpikir dan bertindak mereka pun akan sangat dipengaruhi oleh norma kelompok dan orang-orang dalam kelompok tersebut.

Masalah yang terjadi pada Bunga dan teman-temannya itu mungkin diawali oleh salah paham atau adanya perbedaan pendapat antara mereka yang tidak diselesaikan dengan tuntas sehingga menimbulkan perbincangan dibelakang yang hasilnya membuat polarisasi kelompok, terbentuknya kubu dalam sebuah kelompok, dan bukannya diselesaikan atau mencari jalan tengahnya, mereka tampaknya malah memperuncing perbedaan di antara mereka sehingga membuat pengambilan keputusan bersama pun semakin sulit.

Adanya prasangka yang mulai muncul antar kelompok mebuat penyatuan kembali menjadi sedikit lebih sulit, karena masing-masing anggota kelompok sadar maupun tidak sadar mulai mempercayai bahwa mereka lebih baik dari anggota kelompok yang lain. Jika prasangka antar kelompok yang diturunkan antar generasi mungkin bisa dihilangkan dengan membuka interaksi antara dua kelompok yang berprasangka agar masing-masing anggota dapat mengubah pendapat mereka tentang kelompok yang lain, maka prasangka yang muncul karena interaksi seperti yang terjadi pada Bunga mungkin bisa dihilangkan dengan bantuan pihak ketiga yang menengahi secara terbuka atau bisa juga menyusup ke dalam kelompok mereka dan secara perlahan memberikan pemahaman baru akan kelompok yang lain dan pengelompokan ulang pun mungkin bisa dilakukan sehingga istilah “temen-temen lu” tidak akan muncul lagi.