My Self – The Side Story

IMG_5942
I couldn’t give up, even if I have to.
I don’t believe in miracle, even if I supposed to.
I can’t focus on one thing, even if I am forced to.
I won’t choose speaking over writing, even if I need to.
I couldn’t even if I could.
I don’t even if I do.
I can’t even if I can.
I won’t even if I will.
Believe what i tell you..
Since I believe what I don’t suppose to.

Mumbling #3

another long break from writing. I owe someone a review about her cake for one of my best friend, and I can’t post it now since I haven’t get the photos from Mr. J yet.

hoah.. *yawn*

I’m not in my perfect condition now. Got cough when I’m in Pekanbaru last weekend and now i get influenza.. #sleepyhead

my mood is not in a good mode also. feel so sad, left out and lonely..

maybe I just need a “me” time

mumbling #2

 Go up close to your friend, but do not go over to him! We should also respect the enemy in our friend.

-Friedrich Nietzsche

I don’t know what I want to state in this post. Been through harsh time recently and just couldn’t find  the perfect words to describe what i’ve been through in my hearts. I just thought that I had to write something just to keep my sanity intact.

Sangat sulit memang kalo kita merasa bertepuk sebelah tangan dalam sebuah hubungan, when we trully love someone and turns out that this person didn’t feel the same way as we feel. That is a heartbreaking feeling, in and out. Perasaan bertepuk sebelah tangan tidak selamanya hanya dalam masalah percintaan, bisa juga ketika orang tua mencintai anaknya yang malah membencinya and vice versa, moreover it could happen in a Friendship.

Menjalin sebuah hubungan melibatkan banyak hal yang sangat kompleks seperti berbagai macam perasaan, komitmen dan pastinya kepentingan. Seseorang menjalin hubungan karena ada kepentingan yang ingin dia penuhi, ada kebutuhan yang ingin dia puaskan, ada dorongan yang ingin dia lepaskan, tepi kemudian hubungan itu berlandas hanya sebuah dorongan sebelah pihak atau adanya balasan dari pihak yang lain, itu tergantung manusia yang terlibat di dalamnya.

Saya pernah merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan sebelumnya. Hurt, indeed but not as hurt as this wound. Luka kali ini karena perasaan yang bertepuk sebelah tangan sangat menyakitkan, mungkin karena saya sangat percaya pada hubungan ini sehingga saya  mengikatkan terlalu banyak harapan di sana. Harapan yang melambung kata orang membuat lebih sakit ketika jatuh, dan benar saja, saya hanya bisa memasang tampang baik-baik saja sementara dalam hati yah.. hanya saya yang tahu betapa perihnya.

Mungkin ini hanya perasaan saya yang menjadi sangat sensitif, but I feel humiliated by this broken relationship. So humiliated that I could even think that I just someone who has no value in other’s heart, they just come to me when they need me, nothing else, nothing more. I feel so broken inside.

For you, Thank you for teaching me that I could trust no people.

For you, Thank you for not care about me as much as I care about you, but I do still care about you, coz I know that one day you’ll realize that you need other people and one day you’ll admit that you’ve treated people so bad before because you just feel so arrogant that you think you will never need the other. One day, for sure, you’ll understand how much you’ve hurt me.

Thank you.

or should I make an apology to you?

saya rasa bisa saja saya lah yang salah dalam segala hal sehingga anda tidak bisa membalas perasaan saya, mungkin saya sudah terlalu lancang mencampuri banyak urusan anda, saya sudah terlalu sering membuat anda merasa terganggu, atau mungkin apa yang menurut saya perhatian ternyata adalah hal yang anda benci, tidak anda butuhkan? atau memang saya saja yang salah dengan menjadi saya. Atau saya sudah melanggar apa yang dikatakan Nietzsche?

I’m sorry, please accept my apology

I don’t know what is happening here if you keep shutting your mind. I could pretend that anything is just alright between us, I could lie to other people, but could I lie to my self? I don’t know what I need to do if you don’t tell me.

I just need the truth in your answer.

From Darkjasm;

To whom it may concerns.

Empati, Toleransi dan Ketidakpedulian

Empati, selama saya belajar ilmu psikologi selalu diartikan sebagai suatu kondisi dimana kita bisa merasakan perasaan orang lain dan bisa menempatkan diri kita pada posisi orang tersebut. Toleransi adalah bagaimana kita bisa saling menghormati hak dan kewajiban orang lain sehingga tidak saling membenturkan hak tiap-tiap individu sedangkan ketidakpedulian adalah bagaimana kita membiarkan saja seseorang melakukan sesuatu yang cenderung bisa merusak dirinya sendiri dan orang lain. Itu adalah sekelebat pemahaman saya mengenai makna 3 kata yang menjadi judul tulisan ini. Ini bukan tulisan ilmiah yang punya banyak referensi, ini hanya tulisan yang saya tulis berdasarkan keprihatinan saya saja, jika ada yang tidak sependapat dengan saya, yuk mari kita diskusi.. 🙂

*loh? tulisannya tentang apa juga belum keliatan yak? hehehe

Baiklah..

Menurut saya, perbedaan empati dan toleransi yang berkonotasi positif dengan ketidakpedulian yang berkonotasi negatif dari hari ke hari semakin tipis dan pemeliharan empati dan toleransi bisa mendorong pesatnya pertumbuhan ketidakpedulian. Bayangkan anda sebagai saya yang berasal dari kampung, kuno dan kolot menghadapi dunia pergaulan di Jakarta, yang tidak usah saya jelaskan pasti banyak yang paham deh betapa unik, kompleks dan menggiurkannya proses “gaul” di Ibu Kota ini.

Satu hal yang paling penting dimanapun kita berada adalah bagaimana kita bisa menghargai hak asasi manusia, itu bagian dari toleransi, katakan saja, apa yang dilakukan seseorang dalam hidup adalah murni hak asasi dia yang harus kita hargai, kita harus menghormatinya. Contoh ekstrim adalah saya sebagai seorang muslim mempunyai sahabat yang juga muslim, ada juga yang katolik, budha, hindu, dan protestan. Melakukan ibadah adalah hak asasi manusia, jadi saya harus menghargai apapun agama seseorang, saya harus mentoleransi ritual keagamaan mereka, itu saya sangat paham, namun ketika dia jelas-jelas menyatakan dia beragama, namun dia tidak menghormati agama dan kepercayaannya sendiri (baca: nggak shalat, nggak kebaktian, dll) kita sekarang juga dituntut untuk mentoleransi hal itu dengan alasan itu adalah proses pemaknaan dan hasil dari proses kognitif masing-masing orang. Toleransi, itulah kata yang memungkinkan kita untuk tidak melakukan sesuatu agar teman kita tersebut kembali melakukan ibadahnya, namun hal ini bagi saya adalah ketidakpedulian yang terselubung, karena dengan mentoleransi keingkaran mereka berarti kita juga sebenarnya membiarkan ia jatuh kedalam lubang kelalaian yang mungkin awalnya hanya lalai ibadah, tapi jika dibiarkan hatinya membeku, maka mungkin akan berakhir dengan lalai-lalai lainnya. Saya percaya bahwa jika seseorang memilih kepercayaan tertentu, terpaksa karena orang lain, keturunan ataupun karena keinginan diri sendiri mereka tanpa sadar menandatangani kontrak mental yang mempengaruhi alam bawah sadar (yes, so fruedian! :p) yang jika mereka tidak memupuk dengan ibadah, ada perasaan kosong dalam benak mereka (bukti ilmiah? kan udah saya bilang kalo ini hanya cerocos saya aja).

Itu tadi contoh ketidakpedulian berkedok toleransi, bagaimana dengan empati? ada satu hal yang sering mengganggu saya karena saya juga sering menjadi pelakunya. Misal : Ketika seseorang sedang menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan, dia mengalami stres dan bisa menjadi depresi. Ketika orang depresi, manifestasinya bisa macam-macam. Bagi yang di diagnosa mengalami gangguan depresi mungkin akan mudah dibantu, tapi bagi yang hanya depresi ringan, banyak yang kemudian hanya mencari pelarian, mungkin tidak ekstrim ke alkohol atau obat-obatan, tapi bisa saja makan yang banyak atau bertingkah sesukanya. Sebagai seseorang yang mempunyai empati, kita bisa merasakan apa yang dia rasakan, kita bisa membayangkan apa yang kita rasakan jika kita berada di posisinya, sehingga kita menjadi permisif “ah, nggak papa, kasian dia masih shock”, “ah biarlah sementara dia masih terguncang” dan ah-ah yang lainnya. Mungkin awalnya pembiaran kita ini dianggap wajar dan membantu dia, tapi sebenarnya dengan kita membiarkan, orang tersebut malah menanamkan dalam pikiran dia bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan bisa menjadikan kebiasaan dan pola pikir dia terhadap hal yang salah bisa berubah. *Loh? kan ntar kalo dia udah agak redaan bisa kita bantu kembali kejalan yang benar? bisa sih, tapi yakin nggak, ketika kita membantunya itu belum terlambat?

Dua contoh situasi diatas menurut saya bisa menggambarkan bagaimana itikad baik kita tak selamanya menghasilkan yang baik, bisa saja toleransi dan empati yang kita rasakan kepada seseorang sebenarnya adalah kemalasan kita untuk membantu, ketidakpedulian kita yang dipoles menjadi suatu perasaan yang dimafhumkan… in my opinion.. :’)

ciao!

-darkjasm-